Dear kamu,,
19 Mei 2012,, ku ungkap semua yang telah memuncak di dalam hati. Lewat blog ini
ku tulis rahasia yang ku simpan rapat selama 2 tahun (Rahasia itu adalah Kamu).
Berharap kamu tidak mengetahuinya. Namun, keresahan dalam jiwaku justru membuatku
melakukan kebodohan dengan menulis status di jejaring sosial dan membuatmu tau!
Dear kamu,,
26 Mei 2012,, aku membaca It’s too complicated. Ku katakan dalam statusku “apa itu
jawabannya?? kalau iya, saya mengerti dan saya percaya km org yg baik .. dari
dulu sampai sekarang dan sampai kapan pun saya tetap percaya itu :)”. Aku tau kamu, meski tak setau
dirimu tentang aku. Seperti yang kamu katakan “I know u so well.. But, u don't know me so well..”. Dan aku
bertanya dalam hati, sebenarnya apa yang tak aku tau dan kenapa aku tidak tau? Karena
kamu yang tidak membiarkan aku tau, atau memang aku yang tidak peka?
Satu kalimat yang cukup membuatku terkejut dalam catatan itu “Setidaknya kita pernah saling mencinta meski tak sempurna..”. Benarkah? Kapan? Ini cukup membuatku
untuk tersenyum, meski pada kenyataannya telah berakhir.
Satu lagi pertanyaan untukmu. Apa yang kamu maksud dengan kata-kata “Namun, masih ada disana.. Untuk kita berdua.. Dalam jarak, dalam ruang,
dalam waktu yang berbeda..
”??
Sesungguhnya,, sejak hari itu aku mengerti apa yang kamu maksud. Dan sejak hari
itu mulai timbul rasa takut dan malu untuk bertemu lagi denganmu.
Dear kamu,,
1 Juni 2012,, masih dengan ketakutanku bertemu denganmu. Entah mengapa
firasatku benar. Benar, aku bertemu denganmu saat itu. Dalam keadaan yang
sedikit berbeda bahwa kita telah sama-sama tau apa yang terjadi sebenarnya. Yang
membuatku takut untuk menatapmu. Yang seketika menundukkan kepalaku.
Berpura-pura memainkan ponsel seolah tak melihat kamu dan teman-temanmu. Namun,
kamu menyapaku. Mengejutkanku. Tersenyum hambar dan melambaikan tangan, jurus
tercepat yang dapat aku lakukan.
Ketika pulang, sebenarnya aku tak sanggup melihatmu lagi. Dengan mencoba
melewati jalan berbalik arah darimu dan teman-temanmu. Namun, teman-temanku melarangku. Mereka menyarankan
untuk tetap bersikap biasa dan berpura-pura tidak tau bahwa kita telah
sama-sama tau. Dan pada akhirnya itulah yang aku lakukan.
Dear kamu,,
12 Juni 2012,, aku ujian Skripsi. Dengan pikiran yang kacau. Teman-teman
meyakinkanku untuk tidak memikirkanmu sementara. Sulit. Bahkan kamu datang
bersama teman-temanmu,, dengan ‘baju’ itu. Jujur, kedatanganmu membuat
pikiranku tambah kacau. Aku lakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan saat
itu. Dan bersyukur semua berjalan lancar.
Dear kamu,,
13 Juni 2012,, kamu mengatakan ingin bertemu denganku. Dengan alasan
menceritakan ‘sesuatu’. Aku sudah menebak apa yang akan kamu katakan. Tentang kita.
Bukan tentang kamu dan orang lain. Aku mencoba untuk tetap bersikap ‘biasa’
saja. Dan berpura-pura tidak tau.
Dear kamu,,
20 Juni 2012,, setelah semua terungkap. Sedih,, pasti! Tak bisa ku pungkiri
lagi. Menyesal,, iya sedikit. Sedikit menyesal kamu mengetahuinya. Tak
menyangka. Dan masih tak percaya hari itu benar terjadi. Telah ku katakan bahwa
aku menyayangimu tanpa mengharap apa pun darimu. Dan kita menerima penjelasan
masing-masing hari itu. Meski aku lebih banyak ‘diam’. Yang sebenarnya karena
pikiranku terbagi. Memikirkan ini benar terjadi
dan memikirkan kenapa kamu menjadi terlihat kurus?? (Out of Context :D).
Seharusnya,, clear,, semua selesai. Namun, satu yang aku lupa dan mungkin bukan
lupa tapi tak bisa keluar dari mulut ini. Satu pertanyaan tentang alasanmu
mengatakan “jawaban” itu. Karena sebenarnya aku sendiri tidak menuntut kamu
mengatakan jawaban, bahkan tidak menginginkan kamu mengatakannya. Karena aku
tau akhirnya. Bahkan jika boleh memilih, lebih baik kamu benar menceritakan
tentang kamu dan orang lain daripada menjelaskan tentang kita.
Tentang Film Crazy Little Thing Called Love, kenapa kamu mengatakan bahwa kamu
belum sempat melihatnya? Karena kamu kehabisan bahan pembicaraan atau kamu tau
maksud aku melihat film itu? Hmm,,
Hari itu,, setelah kamu pulang. Aku hanya bisa menangis disaksikan ketiga
sahabatku yang diam dan membiarkanku hingga tenang. Dengan jari jemari yang
terus mengetik kata demi kata Revisi Skripsi. Itu luar biasa,, otakku terasa
terbelah dua. Pesan terakhir darimu hari itu,, ‘jadilah dirimu sendiri’.
Dear kamu,,
1 Juli 2012,, ku tuliskan dalam pena-patahku sebuah doa. Lebih tepatnya
harapan-harapan yang ada dalam benakku. Dan aku mengatakan “Tuhan, jujur saat aku pergi meninggalkannya nanti entah
kapan aku ingin melihat senyum termanisnya. Aku ingin usapan tangannya di
kepalaku. Dan lambaiannya padaku. Karena mungkin itu akan menjadi kesempatan
terakhirku”. Kamu
pun menjawab melalui statusmu. Kamu pastikan kamu ada pada saat itu dan aku
anggap itu janjimu. Tapi kenapa kamu katakan “Senyum manisku, Tawa candaku, kan slalu
ada dalam kenangan indahmu..”?
Dear kamu,,
14 Juli 2012,, menjadi hari bahagiaku. Tepat hari itu merupakan hari wisudaku. Aku
senang kamu tidak melupakanku. Hari itu hanya akan menjadi kenangan. Kenangan dalam
potret kita berdua. Yang hanya bisa aku pandang hingga sekarang.
Dear kamu,,
15 Juli 2012,, kita bertemu untuk merayakan pertambahan usia teman, sahabat, atau
kakak kita. Dengan keadaan yang sedikit berbeda. Dengan senyum yang sedikit
berbeda. Dengan hati yang sedikit berbeda. Hari itu aku tekankan aku akan
pergi. Sesungguhnya hanya ingin kamu tau. Dan hanya ingin melihat sedikit
responmu. Memang aku yang berlebihan. Namun aku hanya ingin tau.
Kepergianku telah aku putuskan sejak aku tau ‘jawaban’ kamu. Bagaimanapun aku
harus pergi. Aku tau hari itu menjadi hari perpisahan kita sebelum aku pergi. Hingga
malam kita habiskan bersama teman-teman. Aku senang dengan perhatianmu malam
itu ketika kamu mengantarkanku pulang. Meski itu wajar. Seharusnya itu menjadi
biasa. Tapi tidak bagiku.
Dear kamu,,
16 Juli 2012,, aku membeli ikan yang memang dari awal ingin aku berikan padamu.
Black Ghost menjadi pilihan yang tepat bagiku. Aku beri nama Chill yang berarti
dingin.
Dear kamu,,
17 juli 2012,, ku beritahu keberangkatanku 2 hari lagi. Aku mengerti, saat itu
kamu berusaha menepati janjimu. Namun pada akhirnya, aku katakan tak perlu
mengantarkanku. Meski berharap kamu tetap datang. Hanya karena aku tak mau kamu melihatku
menangis. Dan berharap ada kesempatan kedua untukmu menepati janjimu.
Aku menangis sejadinya di sudut kamar ketika tahu harus berangkat besok malam. Lebih
awal dari rencana.
Dear kamu,,
18 Juli 2012,, hari yang tak ku sangka. Aku harus berangkat lebih cepat dari
rencana semula. Hari itu kesempatan terakhirku untuk berpamitan denganmu dan
memberikan Chill padamu. Namun, ketika tiba di rumah, kudapati Chill yang telah
mati. Lemas. Diam. Menangis. Ku urungkan niatku untuk bertemu denganmu untuk
sekian kali.
Hingga menit terakhir aku menunggu. Berharap ada dirimu yang tiba-tiba muncul
mengucapkan selamat jalan. Menepati janjimu semula. Namun, tidak. Pikiran bodoh.
Aku tau itu takkan mungkin. Di sepanjang perjalanan yang sunyi. Hanya bisa
menangis. Apa yang bisa aku lakukan selain menangis. Mungkin kamu akan
menganggapku cengeng. Kekanak-kanakan. Tapi hanya dengan menangis aku dapat sedikit
tenang.
Dear kamu,,
Satu minggu lebih telah berlalu sejak malam itu. Namun, aku belum dapat
menghilangkan pikiranku tentangmu. Benar katamu, jika bisa aku ingin hilang
ingatan saja. Namun, tak mungkin. Aku bukan tipe orang yang nekat. Kamu tak
perlu khawatir. Hanya saja, yang kupertanyakan hingga saat ini. Kenapa kamu
masih memperdulikanku? Bukankah akan lebih baik bagimu jika acuh padaku? Kenapa
tak kamu lakukan? Karena kita teman? Atau ada alasan lain? Bukankah telah aku
katakan padamu jangan hiraukan aku…
Begitu banyak pertanyaan yang ternyata tak mampu ku tanyakan langsung padamu. Dan
sekarang aku mundur teratur.